Rabu, 05 Maret 2008

Telaah Hukum atas Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan Perawatan bagi Pekerja/Buruh Yang Mengundurkan Diri Atas Kemauan Sendiri

Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa hukum di Indonesia yang diejawantahkan dalam peraturan perundang-undangan hanyalah budak dari politik dan kepentingan ekonomi pemilik modal. Produk hukum Indonesia telah gagal menjadi panglima yang dapat melindungi kepentingan pihak dengan posisi yang lebih lemah, khususnya dalam hal ini kepentingan pekerja/buruh. Memang kita tidak boleh menolak bahwa hukum dalam wujud peraturan perundang-undangan merupakan produk politik karena memang demikianlah sistematika pembuatan peraturan perundang-undangan yang telah kita sepakati bersama di negara yang kita cintai ini, namun sangatlah disayangkan apabila suatu peraturan perundang-undangan telah dibuat oleh lembaga tinggi negara secara tidak sempurna, penuh dengan keragu-raguan, sehingga justru malah menimbulkan multi tafsir dalam pengimplementasiannya. Lebih disayangkan lagi keadaan ini diperparah saat menteri terkait justru mencoba menafsirkan kerancuan dari suatu peraturan perundang-undangan hanya dengan menggunakan suatu surat internal, suatu bentuk yang tidak dikenal sama sekali dalam hierarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun sangat efektif untuk membuat para pejabat di tingkat bawahnya tunduk untuk melaksanakannya. Kesemuanya itu mengakibatkan pekerja/buruh yang posisinya lebih lemah tetapi telah coba dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang multi tafsir, malahan dikurangi hak-haknya oleh suatu kebijakan yang bukan merupakan produk hukum yang valid.

Dengan berpegang pada pemikiran bahwa hukum itu logis dan apabila ada hal yang dianggap sebagai hukum tetapi tidak logis maka itu bukanlah hukum, tulisan kecil ini mencoba mengupas permasalahan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri yang diatur dalam Pasal 162 ayat (1) juncto Pasal 156 ayat (4) huruf c juncto Pasal 156 ayat (2) dan (3) dari Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta penafsiran yang dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia melalui Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.600/MEN/Sj-HK/VIII/2005 tanggal 31 Agustus 2005 perihal Uang Penggantian Perumahan Serta Pengobatan Dan Perawatan, semata-mata dari sudut pandang ilmu hukum, tanpa berprasangka buruk terhadap kepentingan politik maupun bersyakwasangka terhadap kepentingan ekonomis pemodal yang menganggap biaya ketenagakerjaan (labor cost) di Indonesia terlalu mahal.

Pasal 162 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“Undang-Undang Ketenagakerjaan”) secara tegas mengatur: “Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Sehubungan dengan itu, Pasal 156 ayat (4) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan selanjutnya mengatur: “Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: … penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat”. Hak pekerja/buruh atas uang penggantian hak ini tidak dapat disangkal oleh siapa pun karena hal ini tegas diatur dalam Pasal 156 ayat (1) yang mengatur: “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”, di mana pengertian pemutusan hubungan kerja sesuai dengan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Ketenagakerjaan: “Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”, dan dengan demikian pengunduran diri adalah merupakan salah satu bentuk pemutusan hubungan kerja.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 162 ayat (1) juncto Pasal 156 ayat (4) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh yang mengundukan diri berhak atas penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, yang besarnya ditetapkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah sejumlah 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. Namun, apakah demikian kah yang didapatkan oleh pekerja/buruh ketika ia mengundurkan diri?

Beberapa pengusaha mencoba berdalih dengan menggunakan logika bahwa pekerja/buruh yang mengundurkan diri tidak berhak atas uang pesangon maupun uang penghargaan masa kerja, dan karenanya pengusaha tidak dapat memberikan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan karena dasar perhitungan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan menggunakan uang pesangon maupun uang penghargaan masa kerja yang tidak diberikan kepada pekerja/buruh yang mengundurkan diri. Disinilah letak kelalaian yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menggunakan formula perhitungan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja sebagai dasar perhitungan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan. Alih-alih mengaturnya dalam suatu formula perhitungan terpisah dalam ayat tersendiri, mungkin karena takut memperpanjang isi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang memang sudah panjang, pengacuan perhitungan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan pada ayat-ayat uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang dilakukan pembuat Undang-Undang Ketenagakerjaan telah menyebabkan pemberian penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan tidak dapat dilaksanakan pada prakteknya.

Pertanyaan besar yang menggantung di benak kita sekarang adalah apakah pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak atas penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan? Kemudian, apakah pembuat Undang-Undang Ketenagakerjaan memang benar-benar telah bermaksud untuk memberikan hak penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan kepada pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemberian penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan kepada pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri merupakan kebijakan dari pemerintahan yang berkuasa saat dikeluarkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut? Dan pertanyaan terakhir adalah apakah pembuat Undang-Undang Ketenagakerjaan telah memikirkan dampaknya terhadap pekerja/buruh yang amat sangat membutuhkan peningkatan taraf hidup, bukan janji kosong yang tidak dapat dilaksanakan, maupun terhadap pemodal yang menganggap biaya ketenagakerjaan (labor cost) di Indonesia terlalu mahal?

Lebih parah lagi, kerancuan ini telah coba ditafsirkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia melalui Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.600/MEN/Sj-HK/VIII/2005 tanggal 31 Agustus 2005 perihal Uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, dengan mengatakan: “Oleh karena pekerja/buruh yang mengundurkan diri tidak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja maka pekerja/buruh yang bersangkutan tidak mendapatkan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)”. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia tersebut dapat menafsirkan Undang-Undang Ketenagakerjaan? Berwenangkah menteri menafsirkan undang-undang, berwenangkah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia menafsirkan Undang-Undang Ketenagakerjaan? Demi Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan dan demi Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, jawabnya tentu saja tidak! Meskipun demikian, walaupun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia tidak memiliki kewenangan seperti Mahkamah Konstitusi dan walaupun Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia tersebut bukanlah produk hukum, tetapi karena Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia, sudah tentu Surat tersebut sangat efektif memaksakan pengertian yang sama kepada seluruh Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia dan mereka sudah tentu akan tunduk melaksanakannya.

Akan banyaklah pro dan kontra terhadap penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, halmana juga pernah dialami penulis ketika mengundurkan diri. Demikianlah telaah hukum atas permasalahan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, tanpa bermaksud mengetuk hati nurani pemodal agar lebih bermurah hati kepada pekerja/buruh dengan tidak berkelit dari kewajiban penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan pada saat pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri, tetapi sekedar mencoba mencari logika hukum dari keruwetan sistematika Undang-Undang Ketenagakerjaan yang multi tafsir, dan sekedar mencoba mencari logika hukum dari kelancangan penerbitan surat internal yang seharusnya tidak perlu dianggap sama sekali karena tidak memiliki kekuatan apapun bila ditinjau dari hukum positif di Indonesia. Meski diakhiri sampai di sini, semoga tulisan ini dapat menjadi awal dari diskusi ilmiah yang panjang bagi pekerja/buruh, pemodal, pembuat undang-undang, pejabat politik, praktisi hukum dan akademisi, seputar penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri.

(ws)