Rabu, 02 April 2008

Perburuhan dan Tenaga Kerja - pesangon (triyogo rahardjo)

Pertanyaan :
Mohon diinformasikan mengenai Keputusan Menaker No.78 tahun 2001 atau kalau mungkin peraturan Penyelesaian PHK dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa kerja dan Ganti Rugi di Perusahaan. Bagimana pula apabila seorang karyawan dengan masa kerja 3 tahun mengundurkan diri apakah mendapatkan uang pesangon, uang jasa masa kerja atau uang ganti rugi. Mohon bantuannya segera.

Jawaban :
Di awal bulan Maret ini, DPR telah menyetujui Undang-undang Ketenagakerjaan (“UUK”). Aturan peralihan UUK (Pasal 192) mencabut sejumlah perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Sedang peraturan pelaksana lainnya tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UUK.

Sebelum UUK, penyelesaian pemutusan hubungan kerja (PHK), penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti rugi diatur dalam Keputusan Mentri Tenaga Kerja No. 150 tahun 2000. Memang Kepmenaker 150/2000 ini pernah diubah dengan Kepmenaker 78/2001, namun akhirnya dibatalkan. Namun, karena hal yang sama diatur secara berbeda oleh UUK, maka yang menjadi acuan adalah UUK.

UUK mengatur berbeda tentang pengunduran diri dan PHK. Komponen PHK terdiri dari: (i) uang pesangon, (ii) uang penghargaan masa kerja dan (iii) uang penggantian hak (namun jika pekerja/buruh melakukan pelanggaran/kesalahan berat, maka pekerja/buruh hanya berhak atas uang penggantian hak), sedangkan bila mengundurkan diri, maka yang diterima oleh pekerja/buruh hanyalah uang penggantian hak. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak, juga diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya seharusnya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (lihat pasal 162 ayat 2 UUK).

Bagaimana penghitungannya jika Anda mengundurkan diri setelah bekerja 3 tahun? Maka dalam hal ini Anda mendapatkan uang penggantian hak meliputi hak-hak diantaranya: (i) Cuti tahunan yang belum diambil; (ii) Ongkos pulang buruh dan keluarga ke tempat dimana buruh diterima bekerja; (iii) Biaya perumahan, pengobatan, perawatan sebesar 15 % dari uang pesangon; dan (iv) Hak-hak lain yang ditetapkan dalam KKB dan peraturan perusahaan ditempat Anda bekerja.

Demikianlah semoga bermanfaat.
(Bung Pokrol)


DISADUR DARI KLINIK HUKUMONLINE: http://hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=2066

Perburuhan dan Tenaga Kerja - hak saya bila mengundurkan diri berdasarkan UU ketenagakerjaan 2003? ()

Pertanyaan :
Saya telah bekerja selama 3 tahun 2 bulan. bila saya mengundurkan diri, maka berdasarkan UU ketenagakerjaan 2003, menurut saya, saya akan memperoleh uang ganti kerugian sebesar 15% dari uang pesangon + uang masa kerja, sehingga perhitungannya adalah : (4 + 2)*gaji pokok*15%. Namun perusahaan menyatakan saya tidak memperoleh uang ganti kerugian atau apapun (karena saya mengundurkan diri), dan hal ini telah diputuskan secara Group Company, bahwa setiap karyawan group company tersebut yang mengundurkan diri tidak akan mendapat apapun. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah ketentuan company lebih kuat hukumnya dibanding dengan UU, dan bila company tetap tidak mau membayar hak saya apakah yang sebaiknya saya lakukan, karena pada dasarnya saya ingin mengundurkan diri secara baik2, dan record yang baik pula. Mohon penjelasan. Terima kasih.

Jawaban :
Perlu kami perjelas, yang Anda maksud dengan “uang ganti kerugian” disini adalah “uang penggantian hak” yang mana berkaitan dengan pengunduran diri atas kemauan sendiri (Pasal 162 Undangf-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan – “UUK”). Selain itu, juga perlu Anda pahami maksud “atas kemauan sendiri”, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 162 (4) UUK, dimana dinyatakan bahwa pengunduran diri adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sebaliknya, PHK selain itu (“atas kemauan pengusaha”) harus dengan penetapan lembaga tersebut. Dengan demikian “uang penggantian hak” berlaku hanya pada pengunduran diri dimaksud.

Ketentuan Pasal 162 UUK tersebut merupakan ketentuan material dari Hukum Ketenagakerjaan. Artinya, penerimaan uang penggantian hak adalah hakiki karyawan (lihat juga Pasal 170 UUK). Karenanya, pelaksanaannya wajib dilakukan oleh pengusaha wajib memenuhinya kepada karyawan yang bersangkutan, dengan syarat karyawan yang bersangkutan itu harus:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Dengan demikian, menurut kami tidaklah beralasan apabila pihak pengusaha (“company” ataupun “group company” Anda) tidak mau melaksanakan ketentuan tersebut, apalagi sekedar mendasarkan pada keputusan group company.

Apabila pengusaha tetap menolak untuk memenuhinya atau membayar yang penggantian hak, maka Anda dapat menuntut hak Anda dengan mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Gugatan harus diajukan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya (Pasal 171 UUK).

Karena lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan UUK belum terbentuk, maka gugatan yang akan diajukan masih melalui mekanisme Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4D dan P4P).

(Bung Pokrol)


DISADUR DARI KLINIK HUKUMONLINE: http://hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=2596

Perburuhan dan Tenaga Kerja - Uang Jasa atas pengunduran diri (yulis)

Pertanyaan :
Saya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan swasta dengan masa kerja 3 tahun 9 bulan 15 hari dengan status karyawan tetap dan telah mengundurkan diri secara baik2 atas kemauan sendiri. Dengan status seperti saya tersebut, pertanyaan saya adalah : 1. Apakah saya bisa mendapatkan uang jasa? apa dasar hukumnya? 2. Bila pada akhirnya pihak perusahaan menyatakan bahwa saya tidak mendapatkan uang jasa tetapi berdasarkan peraturan yang berlaku saya dinyatakan mendapatkan hak atas uang jasa, bagaimana prosedur dan cara menyelesaikannya? Demikian pertanyaan dari saya, atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jawaban :
Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena kemauan saudara sendiri (untuk melakukan pengunduran diri dari perusahaan tempat saudara bekerja) diatur dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Pasal 162.

Bagi saudara yang melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri maka, saudara akan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) yang meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Berdasarkan Pasal 162, jenis kompensasi PHK yang dapat saudara terima/tuntut dari pengusaha, bukanlah berupa uang pesangon maupun uang penghargaan masa kerja, melainkan hanya berupa uang penggantian hak yang besarannya disesuaikan dengan masa kerja saudara yang kurang dari 5 (lima) tahun.

Bila yang saudara maksud dengan “uang jasa” disini adalah “uang penghargaan masa kerja”, maka berdasarkan UU Ketenagakerjaan anda tidak mendapatkannya. Anda hanya mendapatkan uang penggantian hak (Pasal 162 UU Ketenagakerjaan).

Selain itu, juga perlu Anda pahami maksud “atas kemauan sendiri”, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 162 (4) UUK, dimana dinyatakan bahwa pengunduran diri adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sebaliknya, PHK selain itu (“dalam hal ini atas kemauan pengusaha”) harus dengan penetapan lembaga tersebut. Dengan demikian “uang penggantian hak” berlaku hanya pada pengunduran diri dimaksud.

Dapat kami tambahkan pula bahwa pihak perusahaan mempunyai hak untuk mempertimbangkan pemberian kompensasi PHK, apabila pengunduran diri yang saudara lakukan telah sesuai dengan ketentuan normatif pada Pasal 162 ayat (3) yaitu: mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; tidak terikat dalam ikatan dinas dan tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Hal-hal lain yang seringkali juga dimasukan sebagai bentuk kompensasi dari pengusaha kepada pekerja dimana pelaksanannya cukup diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Oleh karena itu ada baiknya bila saudara juga melihat kembali ketentuan perjanjian kerja saudara dengan pengusaha.

Bila tidak ada kesepakatan antara saudara dan perusahaan tentang hal ini (setelah melakukan perundingan bipartit untuk musyawarah mufakat), saudara dapat saja hal ini ke mengajukan persoalan ke kadisnaker setempat (perselisihan yang terjadi dicatat) untuk diperantarai atau memilih penyelesaian melalui konsiliator atau arbiter yang terdaftar. Bila tidak dicapai kesepakatan penyelesaian, salah satu pihak (saudara atau perusahaan anda) dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Kami menyarankan agar anda menghubungi konsultan hukum anda untuk membahas hal ini lebih lanjut. Demikian, semoga bermanfaat.
(Bung Pokrol)


DISADUR DARI KLINIK HUKUMONLINE: http://hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=5145

Selasa, 01 April 2008

Surat Edaran Menakertrans Bingungkan Pengusaha

Denpasar (Bali Post) -Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPN Apindo) menilai Surat Edaran Menakertrans membingungkan pengusaha. Untuk itu, Apindo melayangkan surat kepada jajarannya di propinsi maupun kabupaten/kota untuk menolak Surat Edaran No.18.KP.04.29.2004 tanggal 6 Januari 2004. Demikian diungkapkan Ketua Apindo Bali Panudiana Kuhn di Denpasar, Jumat (12/3) kemarin.

Dia mengaku telah menerima surat dari Apindo Pusat bernomor 131/DPN/1.3/III/2004 pada awal Maret 2004. Menurut Kuhn, alasan penolakan karena surat edaran Menakertrans bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam buku Panduan Pemahaman Beberapa Pasal Undang-undang Ketenagakerjaan No.13/2003 yang ditandatangani sendiri oleh Menakertrans Yacob Nuwa Wea. Dalam buku yang diterbitkan Depnakertrans dan ILO Jakarta itu disebutkan, apabila pekerja di-PHK karena kesalahan berat atau mengundurkan diri tidak berhak atas uang hak penggantian. Sedangkan SE Menakertrans tertanggal 6 Januari 2004 memberi arahan yang sebaliknya. Intinya menyatakan bahwa pekerja yang di-PHK karena kesalahan berat atau mengundurkan diri tetap diberikan uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan sesuai masa kerja. "Jadi tampak jelas kontradiksinya," tandas Panudiana Kuhn.

Di sisi lain, ungkapnya, pada 31 Juli 2003 Dirjen PHI Depnakertrans telah membuat surat yang isinya bertentangan dengan SE Menakertrans. Dalam surat No.B.468/DPHI/VII/2003 yang ditujukan kepada Kadisnaker Propinsi dan Kabupaten antara lain menyebutkan; oleh karena pekerja mengundurkan diri tidak mendapat uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja maka hak atas penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan dengan sendirinya tidak ada.

"Dua pejabat dari kementerian yang sama membuat kebijakan yang berbeda. Ini sungguh membingungkan. Sebagai pengusaha, sesuai pernyataan sikap Apindo Pusat, kami menolak surat edaran Menakertrans," tandas Panudiana Kuhn. (056)

Dari Rembug Regional Bali 2004, Menuju ''Bali Incorporation'', ''Strategy Plan'' Perlu segera Dirumuskan

Di tengah masih lesunya perekonomian di daerah ini, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali membuat terobosan dengan menggelar rembug regional. Dalam acara yang berlangsung di Hotel Nikki, Kamis (11/3) kemarin itu, hadir pula sejumlah narasumber dari instansi pemerintah (Pemprop Bali). Sempat berlangsung diskusi yang intens guna mencari solusi dari berbagai persoalan yang selama ini menggelayuti dunia usaha. Berikut rangkumannya.

Sejumlah persoalan sempat muncul ke permukaan. Antara lain menyangkut hubungan industrial yang melibatkan pengusaha dan pekerja, regulasi pemerintah, masalah perpajakan, peran Jamsostek, peningkatan sumber daya manusia serta berbagai isu global yang berimplikasi langsung pada daya saing produk dalam negeri. Permasalahan-permasalahan ini sempat didiskusikan karena sejumlah pejabat dari dinas terkait hadir sebagai nara sumber.

Menurut Ketua Apindo Bali Panudiana Kuhn, kondisi perekonomian nasional, termasuk Bali saat ini babak belur. Belum lagi secara nasional, tidak tercipta kondisi usaha yang kondusif. Sebagai regulator, pemerintah kerap membuat keputusan yang kontroversial, yang dari kaca mata pengusaha sangat menghambat.

Dia lantas menyebut salah satu contoh yakni kebijakan "uang pisah", di mana Menaketrans berbeda dengan Dirjen PHI. Padahal keduanya dalam satu atap. Dalam surat edarannya Menakertrans No.18.KP.04.29.2004 tertanggal 6 Januari 2004 menyebutkan, pekerja yang di-PHK karena kesalahan berat atau mengundurkan diri tetap diberi uang penggantian. Baik uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan sesuai masa kerja. Di sisi lain Dirjen PHI Depnakertrans No.B.468/DPHI/VII/2003 perihal penjelasan UU No.13 tentang Ketenagakerjaan menyatakan tidak ada penggantian.

Ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak ketidakpastian dunia usaha di Indonesia. Saking kacaunya, kata Kuhn, sejumlah investor asing seperti Sony terpaksa hengkang dari Indonesia. "Kami ingin agar menteri itu pro bisnis semata-mata untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif,''pintanya.

Bagi pengusaha, yang terpenting perusahaan bisa meningkatkan pendapatannya. ''Dengan demikian bisa bayar pajak dan mensejahterakan karyawan,'' papar Ketua Urusan Luar Negeri Kadin Bali ini. Sementara itu Kasubdis Hubungan Industrial dan Perlindungan Naker Propinsi Bali I Made Lastrawan mengatakan pada prinsipnya pemerintah berusaha berada di tengah, ketika terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha.
Mengenai tumpang-tindihnya kebijakan untuk satu masalah yang sama, dia mengaku tidak berkompeten untuk menjelaskan. Sebagai pelaksana di lapangan, pihaknya berkewajiban untuk mensukseskan apa yang telah digariskan dari pusat. Dalam kasus "uang pisah" ini, pihaknya telah mempertanyakannya ke Jakarta.


Dari sisi perpajakan, para wajib pajak di Bali ternyata cukup kooperatif. Tahun lalu bisa diraup Rp 2,3 trilyun pajak, melampaui target Rp 2 trilyun. Menurut Bambang Panji Sularso dari Kantor Pajak Wilayah Bali, pihaknya berupaya agar prestasi ini dipertahankan.

Pemerintah selalu berusaha agar berbagai peraturan mengenai pajak tidak sampai mengganggu produktivitas para pengusaha dan pekerja. Di sisi lain, kesadaran dari para wajib pajak sangat diperlukan, karena saat ini negara sangat membutuhkan hasil pajak.

Bali IncorporateSelain masalah teknis itu, Ketua BTB Putu Agus Antara mengusulkan agar seluruh stakeholder yang ada di Bali bersatu untuk memikirkan bagaimana Bali ke depan. Menurutnya, tak bisa dipungkiri 80% aktivitas perekonomian di Bali bergantung pada sektor pariwisata.

Untuk itu perlu ada sinergi dari berbagai kekuatan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kepariwisataan. Dengan berbagai keunggulan komparatifnya, Bali masih menjadi destinasi idaman.

Menurutnya pengusaha muda secara nasional sedang mengalami krisis leadership, termasuk di sektor pariwisata. Oleh karena itu dia berharap, Bali jangan lagi terlalu bergantung kepada pusat. Kalau semua stakeholder dan komponen lainnya di daerah ini dapat bersinergi, Bali akan berkembang menjadi seperti Singapura.
Dengan demikian semua sektor akan saling mendukung. Selama ini sektor-sektor itu berjalan sendiri-sendiri. Panudiana Kuhn menyambut baik gagasan Putu Antara untuk membentuk Bali incorporated. Dengan sinergi yang ada, segala sumber daya yang ada di daerah ini bisa digerakkan menuju satu tujuan yang terfokus.

Untuk itu perlu ditunjang oleh perencanaan yang strategis (strategic plan) dengan poin-poin terinci. Harus ada pembagian tugas, apa yang dilaksanakan kalangan industri, pemerintah dan masyarakat. Karena itu kepala-kepala daerah di Bali ini harus bisa duduk satu meja dengan kalangan industri dan komponen lainnya. (gre)

Serikat Pekerja Tolak Surat Menakertrans Tentang Pengunduran Diri

Serikat pekerja menolak surat Menakertrans No.B.600/Men/SJ-HK/VIII/2005 yang dinilai menghilangkan hak pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan (UUK). Ketua Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Logam Elektronik dan Mesin Atika Karwa di Jakarta, Selasa, mengatakan surat itu tidak berpihak pada buruh yang seharusnya dihargai selama bekerja tetapi kemudian mengundurkan diri dengan alasan apa pun juga. "Dengan surat tersebut terjadi pemiskinan terhadap buruh yang berjasa selama bekerja dengan upah kecil. Sedangkan, anggota DPR yang habis masa kerjanya saja mendapat uang pisah," kata Atika. Dia menjelaskan selama pembahasan UUK (UU No.13/2003), serikat pekerja/buruh menolak ketentuan tersebut karena mereka menuntut aturan yang sama dengan Kepmen 150/2000. Dalam Kepmen tersebut dikatakan bahwa pekerja yang mengundurkan diri berhak atas uang jasa masa kerja yang besarnya diatur sesuai dengan masa kerjanya. Artinya, pekerja yang bermasa kerja tiga tahun berhak atas uang jasa satu bulan gaji, enam tahun berhak atas dua bulan gaji dan seterusnya dengan kelipatan tiga tahun. Namun, UUK, Pasal 162 ayat (1) menyatakan "Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)". Pasal 156 ayat (4) mengatakan "Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja.buruh diterima bekerja, c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dalam Surat Menakertrans Fahmi Idris bernomer No.B.600/Men/SJ-HK/VIII/2005 kepada kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi dan kabupaten.Kota menyatakan pekerja/ buruh tidak berhak atas uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 persen itu. Lengkapnya, dalam klausul (4) surat bertanggal 31 Agustus 2005 itu disebutkan, "Oleh karena pekerja/buruh yang mengundurkan diri tidak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja maka pekerja/buruh yang bersangkutan tidak mendapatkan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebagaimaa ketentuan dalam pasal 156 ayat (4)". Dalam bahasa sederhana Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Depnakertrans Muzni Tambusai mengatakan karena uang pesangonnya dan uang penghargaan masa kerja pekerja yang mengundurkan diri nol, maka jika 15 persen dikalikan nol hasilnya nol juga. Atika mengatakan serikat pekerja/buruh dahulu megajukan judicial review atas ketentuan Pasal 162 ayat (1) bagi pekerja yang mengundurkan diri tersebut agar sesua dengan kepmen 150/2000, tetapi dikalahkan. "Kini, Depnakertrans menghilangkan hak pekerja/buruh yang 15 persen pula. Dimana letak keadilan?," katanya. Atika menilai pemerintahan saat ini tidak berpihak kepada buruh tetapi cenderung berpihak kepada pengusaha. "Hak yang kecil, 15 persen saja tidak diberikan meskipun sudah diatur dalam UU. Kini, pekerja/buruh benar-benar tidak dihargai," katanya. (Republika Online, 18/10)

Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.600/MEN/Sj-HK/VIII/2005 tanggal 31 Agustus 2005

MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA


Jakarta, 31 Agustus 2005
Nomor : B.600/MEN/Sj-Hk/VIII/2005 Lampiran :
Perihal : Uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan.


Kepada Yth. :
Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Provinsi dan Kabupaten/Kota
di‑
Seluruh Indonesia.


Menunjuk surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : 18.KP.04.29.2004 tannggal 8 Januari 2004 perihal tersebut diatas, setelah dilakukan pengkajian lebih mendalam maka bagi pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan alasan mengundurkan diri atau dikualifikasikan mengundurkan diri maka perhitungan uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebagai berikut :
.
1. Pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tabun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
.
2. Pekerja/buruh yang bersangkutan berhak atas uang penggantian hak sesuai dengan Pasal 156 ayat (4) dan uang pisah.
.
3. Uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada angka 2 meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.


Oleh karena pekerja/buruh yang mengundurkan diri tidak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja maka pekerja/buruh yang bersangkutan tidak mendapatkan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).


Demikian untuk menjadi pedoman sebagaimana mestinya.



Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia,



Tembusan
1. Para Gubernur seluruh Indonesia;
2. Para Bupati/Walikota seluruh Indonesia.


PENULIS SANGAT MENYAYANGKAN PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK SESUAI/BERTENTANGAN DENGAN ISI UNDANG-UNDANG ITU SENDIRI DENGAN MENGGUNAKAN CARA YANG TIDAK SESUAI DENGAN HUKUM POSITIF YANG BERLAKU. SUATU PRESEDEN BURUK BAGI ILMU HUKUM DAN ILMU PERUNDANG-UNDANGAN.

Nasib Buruh/Pekerja di Indonesia

Tinjauan Kondisi Ketenagakerjaan di IndonesiaPeranan pemerintah dalam menangani tekanan upah buruh sangat krusial, di satu sisi pemerintah berkewajiban menyediakan sistem pengaman atau jaring sosial yang efektif untuk menjamin tidak ada buruh yang terjatuh dan diabaikan hak-hak hidup layaknya, disisi lain pemerintah harus realistis bahwa akibat krisis dan sebab yang lain yang lebih bersifat struktural dan kultural, bagi sebagian pengusaha situasi yang dihadapi masih belum kondusif untuk memberikan balas jasa pekerjaan yang layak. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah terus mendorong dialog yang cerdas antara pihak buruh dan pengusaha untuk mencapai konsensus dalam penetapan upah buruh. Pemerintah juga memiliki kewajiban moral untuk menyediakan acuan normatif dalam penetapan upah layak yang berbasis empiris serta memperoleh pengakuan sepenuhnya dari pihak buruh dan pengusaha.

Krisis ekonomi yang berlangsung mulai pertengahan tahun 1997 mengakibatkan perubahan struktural kinerja perekenomian dan pasar kerja di Indonesia. Pada puncak krisis (1998), perekonomian Indonesia mengalami kontraksi yang luar biasa sebagaimana ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang mencapai minus 13,1 persen. Pasar kerja juga mengalami perubahan drastis, hanya dalam setahun (1997-1998) sektor bukan pertanian berkurang lebih dari 2,5 juta jiwa, sementara sektor pertanian bertambah lebih dari 4,3 juta jiwa, padahal dalam kurun sebelumnya (1990-1997) telah berkurang sekitar 6,7 juta jiwa. Peralihan tenaga kerja ke sektor pertanian selama krisis memperlihatkan kelenturan atau fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Dampak negatif krisis yang mencolok terjadi pada sektor industri dan konstruksi. Pada kedua sektor tersebut, PDB turun masing-masing 11,4 dan 36,4 persen, sementara tenaga kerja berkurang masing-masing sekitar 1 juta dan 600 ribu orang. Berkurangnya permintaan tenaga kerja di sektor bukan pertanian, memaksa sektor pertanian, sektor yang pada periode non-oil boom diperlemah, untuk menjadi sektor andalan dalam menampung tenaga kerja yang kehilangan peluang bekerja di sektor bukan pertanian. Peran strategis tersebut tampaknya masih akan diperankan oleh sektor pertanian, sekalipun mulai tampak gejala pemulihan sektor lainnya secara bertahap. Secara absolut, tenaga kerja di sektor pertanian masih bertambah, tetapi tenaga kerja di sektor bukan pertanian juga bertambah hampir dua kali lipat. Utamanya tenaga kerja yang berstatus sebagai buruh, pertumbuhannya jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan tenaga kerja secara keseluruhan.

Dalam pasar kerja Indonesia terdapat semacam mismatch antara lulusan pendidikan dan dunia kerja. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan indeks upah tenaga terdidik (di atas SLTA) antar tahun, relatif terhadap tenaga kerja tak terdidik (di bawah SD), terutama dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut mengindikasikan:
a) permintaan terhadap tenaga kerja terdidik lebih cepat dari pada permintaan terhadap total tenaga kerja secara keseluruhan,
b) permintaan tenaga kerja terdidik lebih cepat dari pada penawaran tenaga kerja terdidik, dan
c) dua-duanya.
Implikasinya antara lain, ketimpangan upah meningkat, permintaan dan kelangkaan tenaga kerja tidak terpenuhi, dan mengherankan adalah angkapenganggur terdidik, sebagaimana disinggung sebelumnya, relatif tinggi terutama di daerah perkotaan.

Aspek lain mengenai upah buruh yang perlu dicermati adalah bahwa perbedaan tingkat upah antara pekerja formal dan informal cenderung melebar sejak kuartal pertama tahun 2000. Gejala ini tampaknya menyerupai pola Amerika Latin, suatu gejala yang tidak menguntungkan bagi kepentingan pekerja secara keseluruhan.

Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan yang kritis pada umumnya menganggap penganggur bukan masalah ketenagakerjaan yang serius. Argumennya adalah karena, pekerjaan cenderung dikerjakan bersama dan menganggur dianggap sebagai barang mewah yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Hal itu ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja. Karena masalahnya dianggap kecil, maka tidaklah mengherankan jika saran penyelesaiannya tampak sederhana.

Tetapi berbeda dengan keadaan 1980-1n, angka penganggur, sebagai salah satu besarnya masalah ketenagakerjaan di Indonesia, sudah relatif tinggi, bahkan dalam standar internasional. Tidaklah berlebihan bahwa masalah pengangguran kini sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan, sebagaimana dikemukakan oleh seorang pengamat ekonomi melalui suatu harian terkemuka (Kompas, Juli 2003). Sebagai argumen, pengamat itu mengemukakan angka penganggur yang fantastis, sekitar 18 juta orang, suatu angka yang jauh di atas angka resmi.

Pada tahun 1997, angka pengangguran sudah mencapai 4,2 juta atau 4,7 persen dari angkatan kerja. Angka itu cenderung terus naik, sehingga pada tahun 2002 menjadi 9,13 juta atau 9,1 persen dari total angkatan kerja. Angka itu masih jauh lebih tinggi dari yang diharapkan Propenas (5,1 persen) dan lebih tinggi dari pada angka pengangguran untuk tahun 1998, yaitu ketika krisis sedang mencapai puncaknya (hanya 5,5 persen). Kenaikan itu mengindikasikan semakin buruknya masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Masalah setengah penganggur juga tidak dapat diabaikan, terutama jika fokusnya diarahkan pada daerah pedesaan. Total pekerja yang berkategori setengah penganggur pada tahun 2002 berjumlah 12,0 juta jiwa atau 13,1 persen dari total penduduk yang bekerja.

Hasil proyeksi menunjukkan jumlah penduduk tahun 2009 mencapai 228,9 juta jiwa, sekitar 168,9 juta jiwa atau 73,7 persen diataranya adalah penduduk usia kerja. Sekitar 116,5 juta jiwa atau 69,0 persen dari penduduk usia kerja diproyeksikan akan memasuki pasar kerja, suatu jumlah yang sangat menakutkan melihat kemampuan ekonomi nasional yang sampai kini belum jelas benar arahnya. Angkatan kerja yang menganggur diperkirakan akan berkurang mulai tahun 2006, sehingga pada tahun 2009 jumlahnya akan mencapai sekitar 7,5 juta jiwa atau 5,5 persen dari angkatan kerja.

ASPEK (Asosiasi Serikat Pekerja) Indonesia memberikan perhatian terhadap evaluasi akhir tahun 2005 diantaranya:

1.Penundaan berlakunya UU No 2 Tahun 2004 tentang PPHI dengan Perppu No.1/2005, menunjukkan ketidaksiapan Pemerintah untuk melaksanakan Peradilan Hubungan Industrial yang diamanatkan oleh UU No.2/2004, baik personil / petugas PHI maupun sarana/prasarana penunjang, padahal Pemerintah di era Menakertrans RI saat itu Sdr Jacob Nuwawea mendesak untuk segera disahkan oleh DPR RI.

2.Maraknya sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menimbulkan kondisi ketidakpastian dalam bekerja (karier tidak jelas , status tidak jelas, tidak adanya jaminan keberlangsungan bekerja, upah rendah, PHK semenamena, anti serikat pekerja dll) karena kebijakan Pemerintah yang Ramah Investasi, dengan melegalisasi sistem Pekerja Kontrak dan Outsourcing yang merupakan bentuk baru perbudakan di jaman modern / new slavery karena jenis perjanjiannya yang sangat merugikan pekerja oleh perusahaan-perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.

3.Pemberlakuan UMP murah yang makin menyengsarakan kehidupan tenaga kerja dan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM tanpa disertai kebijakan dan pemberian insentif kepada kehidupan dan perlindungan bagi para pekerja.

4.Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI yang tidak ramah terhadap para pekerja (Fahmi Indris – yang mengeluarkan Surat. No.B.600/Men/SJ-HK/VIII/2005 yang dinilai menghilangkan hak pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (4) UUK No.13/2003 dan Permenakertrans RI No.Per-17/MEN/VIII/2005 ttg Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL, yang mengurangi kualitas 3 komponen yaitu: beras dari 12 kg menjadi 10 kg, sewa kamar untuk 2 orang dari sewa rumah type 21, cukur menjadi 2 bulan 1 x dari 1 bulan 1 x, serta pernyataan Fahmi Idris Menakertrans RI saat itu di bulan Oktober 2005 saat menghadiri MOU antara Jamsostek dengan APINDO tentang angka pengangguran yang bisa mencapai 1-2 juta orang untuk tahun 2006 tanpa memberikan opsi dan program untuk mengatasinya serta pernyataan yang sama dari Menakertrans RIErman Suparno saat meresmikan program padat karya di Garut Jawa Barat tgl 19 Des 2005 yang juga menyatakan angka pengangguran akan membengkak di tahun 2006).

5.Kurangnya penegakan hukum / law enforcement oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atas UU No. 21/2000 tentang SP/SB yang memberikan jaminan kebebasan bagi semua pekerja untuk mendirikan, bergabung, menjalankan, organisasi serikat pekerja, yaitu dengan maraknya tindakan anti serikat pekerja/ union busting/ anti union policy yang diterapkan oleh pihak Pengusaha/Manajemen, dengan tindakan PHK, mutasi dan intimidasi serta kriminalisasi terhadap anggota dan para pengurus serikat pekerja ( Adi Lazuardi – Sukiman Anwar / SP Antara, Ibrahim / SP Metrodata, Ari / SP UFJ dll ), serta dengan tindakan membuat organisasi tandingan berupa “yellow union”, paguyuban dll.


Masalah dalam UUK No. 13 Tahun 2003

Masalah yang pokok dalam UU Ketenagakerjaan adalah menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalisasikan praktik-praktik sistem kerja kontrak ilegal dan outsourcing, melepaskan tanggung jawab dan kewajiban negara untuk melindungi buruh dan mempertahankan hak atas pekerjaannya, mengebiri serikat buruh dan meligitimasi kebijakan upah murah intinya substansi isi UUK ini sangat merugikan dan tidak berpihak pada kaum buruh, sehingga dampaknya sangat nyata dirasakan oleh kaum buruh dan keluarganya begitu buruk dan menyengsarakan. Sebagaimana kita saksikan semenjak di berlakukan UUK gelombang PHK massal terjadi dimana-mana dengan tanpa pesangon, ataupun dalam rangka menggantikan buruh tetap/permanen menjadi buruh kontrak, semua perusahaan ramai-ramai tidak lagi menerima buruh tetap semuanya sebagai buruh kontrak ataupun outsourcing demi menghindari berbagai kewajiban pengusaha dalam pemenuhan hak-hak buruh (upah yang layak, jaminan sosial, pesangon, THR) dan masih banyak lagi deretan peristiwa yang menjelaskan paraktek-praktek yang membuat kaum buruh ditindas dan dihisap (eksploitasi) baik yang terang-terangan ataupun yang terselubung yang dilakukan oleh pemodal /pengusaha dan rezim anti buruh atas nama hukum UU No.13 Tahun 2003 yang nyata-nyata adalah produk rezim anti buruh, anti rakyat sebagai jalan untuk melapangkan kepentingan modal asing yang dipaksakan.Pasal-pasal yang DIREVISI dalam UUK No13 Tahun 2003 yang sangat merugikan kaum buruh diantaranya:

1. Buruh Kontrak dan Outsourcing
Diterapkannya kebijakan Labour Market Flexibility [LMF] melalui dilegalkannya sistem kerja kontrak dan Outsourcing lewat UUK No. 13 Tahun 2003 jelas membuat posisi kaum buruh semakin lemah, dimana tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, THR dan tujang-tunjangan kesejahteraan lainnya. Konsep Outsorcing yang tidak memberikan batasan apapun, sehingga berdampak pada bahwa kaum buruh bebas diperjualbelikan dengan cara apapun layaknya budak dijaman perbudakan oleh pemerintahnya sendiri, sungguh ini perlakuan dan kebijakan yang keji yang merendahkan harkat-martabat kaum buruh. Maka layak kaum buruh marah dan melawan kebijakan ini.Untuk sitem kerja kontrak [PKWT] dalam revisi UUK ini lebih buruk dimana penerapan sitem kerja kontrak ini tidak lagi memberikan syarat-syarat dan batasan yaitu dinyatakan bahwa semua jenis pekerjaan boleh menggunakan sistem kerja kontrak begitupun dengan waktu/lamanya masa kontrak dijadikan 5 [lima] tahun, sehingga akan menambah ketidak pastian bagi kaum buruh.Maka jika pasal ini gol; sudah bisa dipastikan akan terjadi gelombang PHK besar-besaran dan semua buruh akan dialihkan statusnya dari buruh tetap menjadi semuanya buruh kontrak ataupun outsourcing.

2. Upah
Dalam revisi dinyatakan bahwa untuk penetapan Upah Minimum [UMK/UMP] ditetapkan berdasarkan kemampuan sektor usaha yang paling lemah/marginal dan pemerintah mengambil posisi bahwa Upah Minimum hanyalah sebagai jaring pengaman saja. Selain itu penentuan kenaikan Upah Minimum[UMK/P] pun disesuaikan setiap 2 [dua] tahun sekali.Sehingga dengan kebijkaan ini sudah dapat dipastikan bagi rata-rata perusahaan menengah dan besar akan menggunakan alasan hukum ini untuk membayar upah buruhnya dengan upah yang murah padahal kemampuan si perusahaan tersebut untuk membayar upah minum sudah jauh melebihi dari ketentuan yang ada. Maka jelas kebijakan ini adalah menempatkan buruh untuk miskin selama-lamanya sehingga tidak bisa hidup layak, maka kebijakan ini menegaskan pemerintah SBY-JK adalah rezim pencipta Upah Murah dan anti buruh.

3. Cuti
Dalam revisinya pemerintah menghilangkan mengenai hak Cuti panjang bagi buruh. Dimana dalam UU sebelumnya bahwa bagi buruh yang sudah memiliki masa kerja selama 6 tahun secara terus menerus berhak mendapatkan cuti panjang selama 1 bulan sebagaimana yang berbunyi ; Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksankan pada tahun ke 7 dan ke 8 masing-masing 1 bulan bagi buruh yang telah bekerja selama 6 tahun terus menerus pada perusahaan yang sama. Sedangkan dalam Revisi UUK hal tersebut dihapus.

4. Jaminan Sosial
Dengan diterapkannya sistem kerja Kontrak dan Outsourcing yang sedemikian buruk dampaknya bagi buruh, maka dipastikan kaum buruh dan keluarganya tidak akan lagi mendapatkan jaminan sosial karena posisi tawar buruh semakin lemah apalagi apabila dilihat dengan jumlah angka pengangguran di negara kita yang sangat tinggi sementara kesempatan/lapangan kerja tambah sempit. Disini dipastikan bahwa banyak buruh yang kemudian menerima begitu saja jika upahnya dibayar dibawah ketentuan UMK [upah murah], tidak diberikan cuti haid dan tahunan, tidak diikutsertakan dalam program jamsostek maupun pemenuhan hak-hak normatif lainnya. Selain itu ukuran kesejahteraan yang harus diterima buruh hanya sebatas kebutuhan buruh dan yang paling penting adalah pemberian kesejahteraan itu harus sesuai dengan kemampuan perusahaan dan teknisnya lagi-lagi diserahkan pada peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan.

5. PHK dan Uang Pesangon
Dalam revisi UUK, masalah PHK semakin dipermudah, bahkan kebiijakan mengenai pemberian uang pesangon bagi buruh yang ter-PHK ditentukan maksimal sampai 7 bulan upah, termasuk jika perusahaan melakukan PHK karena alasan efisiensi, dan mengenai uang penghargaan masa kerja diberikan hanya bagi buruh yang sudah memiliki masa kerja diatas 5 tahun atau lebih dengan batas maksimal pemberian uang penghargaan masa kerja sebesar 6 bulan upah. Yang lebih biadab lagi jika perusahaan tutup karena alasan Force Majour, maka buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon yang artinya perusahaan terbebas dari kewajibannya untuk membayar pesangon dan hak buruh lainnya.Selain itu buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah hanya bagi buruh yang upahnya lebih rendah atau sama dengan Pendapatan Tidak Kena Pajak [PTKP] kira-kira sebesar 1 juta, yang artinya bahwa bagi buruh/pekerja yang menerima upah diatas PTKP [1 juta lebih] tidak berhak mendapatkan uang pesangon. Maka sangat jelas bagi buruh dan golongan Midllla Managemen seperti Kepala Regu, Supervisor, Kepala Bagian, Kepala Seksi Foreman, Personalia sampai pada direksi dan komisaris dll tidak diatur lagi dalam draff Revisi UUK ini, alias GRATIS!!! Dan mereka ini dianggap bukan buruh lagi.

6. Kesalahan Berat dan Skorsing [pasal 158 UUK No 13 Tahun 2003]
Dalam keputusan hasil Judicial Review di Mahkamah konstitusi Pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat dan skorsing ini telah dibatalkan/dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Tetapi oleh rezim BONEKA yang BEBAL ini di hidupkan kembali dengan memperbolehkan pengusaha untuk melakukan skorsing dengan membayar upah buruh sebesar 50 persen.

7. Kebebasan Berserikat
Di satu sisi buruh diperbolehkan berorgansiasi bahkan dipermudah dengan 10 orang buruh boleh membentuk organisasi buruh/Serikat buruh, tapi tidak ada jaminan perlindungan bagi buruh yang mengikuti kegiatan serikat buruh/berorganisasi. Dilain pihak dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing sudah dipastikan buruh takut untuk masuk/membentuk serikat buruh karena takut tidak diperpanjang masa kontraknya. Padahal Serikat buruh adalah alat yang mutlak dibutuhkan oleh buruh untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya serta untuk membentengi diri kaum buruh dari perlakuan buruk pengusaha. Belum lagi mandulnya penegakan hukum dari aparat pemerintah akibat korup [KKN] dimana kasus-kasus pidana yang dilakukan pengusaha yang melakukan tindakan menghalang-halangi hak kebebasan berserikat yang telah dilaporkan kepada polisi dan Depnaker tidak ada yang ditindaklanjuti, disini semakin meneguhkan bahwa pemerintah dan pengusaha sama saja.

8. Mogok Kerja
Mogok kerja adalah hak buruh dan serikat buruh, tapi dalam UUK ini dipertegas adanya sikap pengekangan terhadap hak mogok serta adanya syarat-syarat dengan adanya sangsi PHK dan atau ganti rugi. Selain itu pemogokan di UUK ini hanya diperbolehkan ketika gagal perundingan dan ditujukan pada majikan saja dan tuntutannyapun terbatas hanya mengenai soal-soal ditempat kerja [ekonomis] belaka. Sedangkan untuk pemogokan masalah politik, seperti penolakan terhadap Undang-undang, kenaikan BBM, TDL, pemogokan solidaritas bagi buruh atau serikat buruh lain itu tidak dikenal yang intinya tidak diperbolehkan.Padahal membatasi pemogokan hanya pada pemogokan soal ekonomi semata adalah merupakan sikap pengingkaran sekaligus pengebirian terhadap berbagai kovenasi ILO dan juga riwayat perjuangan serikat buruh Indonesia.

9. Tenaga Kerja Asing
Dalam jumlah rakyat Indonesia yang menganggur telah mencapai angka 42 juta, sementara lapangan kerja yang semakin sulit, maka sudah seharusnya pemerintah dalam setiap program dan menerbitkan peraturan/UU memperioritaskan kepentingan dan hak rakyatnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi dalam revisi UUK ini pemerintah lewat UUK 13 Thn 2003 malah memberikan kelonggaran yang sangat luas bagi Tenaga Kerja Asing [Ekspatriat] untuk bekerja di Indonesia dan bersaing dipasar tenaga kerja dengan rakyat Indonesia yang tingkat keterampilan dan pendidikannya sudah dipastikan rata-rata jauh di bawah Tenaga Kerja Asing.


Pustaka :Mubyarto, Prof. Dr., Membangun Sistem Ekonomi, BPFE-Yogyakarta, 2000Mubyarto, Prof. Dr., Reformasi Sistem Ekonomi dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media, Yogyakarta, 1998www.aspek.org/RencanaTenaga Kerja Nasional 2004-2009.pdf, download 20 Mei 2006www.aspek.org/Evaluasi Aspek Indonesia Mengenai Kondisi Ketenagakerjaan Akhir 2005.pdf, download 20 Mei 2006Revisitaikucing, Masalah dalam UUK No. 13 Tahun 2003 http://jakarta.indymedia.org/ newswire.php?story_id=720